Indonesia terlihat pucat, Pulau Kalimantan
dan Sumatra serasa temaram, redup, dan ringkih akibat udara dengan kandungan Karbon
(CO) yang berlebihan. Kandungan gas Oksigen (O2)
seperti terhimpit tak mendapat ruang. Ternyata lebatnya hutan yang masih
tersisa di kedua pulau besar ini tak mampu berbuat banyak untuk menetralkan
kadar Karbon yang berlebihan, akibat dari ribuan hektar lahan gambut yang
sedang membara. Hanya ribuan hektar, tak lebih !!.
Akhir
– akhir ini hutan hujan tropis Kalimantan tempat saya bekerja sedang mengalami
perubahan cuaca yang begitu drastis. Udara segar yang biasa terhirup setiap
pagi sudah kurang lebih sebulan ini tak dapat dirasa sesegar seperti pagi –
pagi sebelumnya. Suara – suara satwa liar yang sering terdengar sahut - sahutan
seperti Owa Kalimantan (Hylobates spp)
tak terdengar lagi di pagi maupun sore hari.
Saban
hari disesaki oleh pekatnya kabut asap yang menyelimuti rimba. Matahari pun tak
tampak secerah biasanya, bahkan dengan mudah mata telanjang ini dapat
menatapnya langsung. Sinar yang biasanya menyilaukan, tak lagi dapat
menyilaukan mata. Matahari hanya terlihat bulat orange dan samar, yang tersingkap
oleh pekatnya kabut asap.
Indonesia
terlihat pucat, Pulau Kalimantan dan Sumatra serasa temaram, redup, dan ringkih
akibat udara dengan kandungan Karbon (CO) yang berlebihan. Kandungan gas
Oksigen (O2) seperti terhimpit tak mendapat ruang. Ternyata
lebatnya hutan yang masih tersisa di kedua pulau besar ini tak mampu berbuat
banyak untuk menetralkan kadar Karbon yang berlebihan, akibat dari ribuan
hektar lahan gambut yang sedang membara. Hanya ribuan hektar, tak lebih !!.
Hampir
semua rekan kerja mengeluhkan terhadap kondisi sekarang ini, entah keluhan
tersebut ditujukan pada siapa, atau hanya sekedar menggerutu pada keadaan. Beberapa
ada yang membandingkan dengan kebakaran hebat yang terjadi tahun 1999 atau
sekitar 16 tahun silam, bahwa kabut kabut asap akibat kebakaran lahan gambut
yang terjadi sekarang ini lebih parah dari tahun tersebut.
Sudah
hampir kurang lebih sebulan ini media di televisi antusias menyiarkan bencana
kebakaran hutan dan lahan. Bencana karena ulah. Media menyiarkan suasana
diberbagai kota besar, kabupaten, dan di lokasi kebakaran di kedua pulau ini.
Berbagai Headline news dari stasiun televise menyiarkan pula usaha pemadaman
yang telah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak, oleh masyarakat, dan
lembaga – lembaga swadaya masyarakat serta para relawan. Terliput ada yang
berjibaku dengan usaha – usaha pemadaman, mulai dari yang menggunakan berbagai alat
canggih milik pemadam kebakaran dan badan penanggulangan bencana sampai menggunakan
alat paling sederhana sekalipun seperti gepyok
dari kumpulan dahan ranting pohon yang diikat. Ada yang berbondong –
bondong membagikan masker, membuka posko kesehatan dan pengobatan, ada
masyarakat yang mengeluh dengan berbagai curhatannya, ada balita dan lansia
yang meninggal akibat ISPA, sampai primata terbesar seprti Orang Utan (Pongo pygmaeus) sekalipun juga ada yang mengidapnya,
ada juga yang hanya sibuk mengucapkan keprihatinan yang dialami oleh masyarakat
terdampak, hingga kejadian karena saking prihatinnya para politisi yang
bercokol di kursi empuk DPR terliput sedang menggunakan masker diruang sidang
yang sejuk dengan sepoi – sepoi AC nya, kan konyol!! seperti badut di hiburan
pasar malam, penuh kepura – puraan dan sangat menghibur. J
Tak
kalah hebohnya dari media televisi, media sosial pun juga menggeliat bak cacing
kepanasan diatas aspal jalanan disiang bolong. Media sosial seperti facebook,
twetter heboh dengan berbagai opini – opini, sindiran, kecaman, serta meme –
meme kreatif. Pada akun twetter tersebar hastag (#) #terimakasihIndonesia.
Hastag ini tersebar luas di media sosial twetter sebagai bentuk protes dari
waga Negara Malaysia dan Singapura akibat ikut merasakan dampak kabut asap yang
terjadi di negeri ini. Hastag tersebut melayangkan opini – opini dalam berbagai
bentuk, baik kritikan, hujatan, kekecewaan, sindiran, saling tuding dan
menyalahkan pihak Negara Indonesia. Tak mau kalah begitu saja dengan kehebohan
tersebut, karena merasa dipecundangi Negara tetangga, warga Negara Indonesia
pun juga melayangkan kicauan balasan dengan hastag #samasamaMalaysia. Dan memang dasarnya warga Indonesia, rasa
persatuan dan kesatuannya begitu tinggi, maka ketika terjadi suatu hal yang
menyangkut nama baik kesatuan Nusantara maka serta merta nasionalisme muncul
dengan gegap gempita, serempak, dengan penuh semangat dan dengan daya juang
militan. Hastag ini merupakan balasan untuk hastag yang dilayangkan pihak
Negara tetangga yang terdampak asap.
Ditingkat
elit negeri pun juga tak mau ketinggalan dengan keriuhan yang ditimbulkan oleh kabut
asap. Pada tahun ini kabut asap bak sebuah oase di tengah padang gurun, akan
menjadi pusat perhatian dan tujuan utama bagi para pemegang kepentingan dan
yang berkepentingan. Yang paling mencuri perhatian public adalah turun
kelapangannya pimpinan tertinggi negeri ini, Presiden sampai memantau langsung
kondisi dilapangan, di Palangkaraya dan Riau. Hingga puncaknya adalah Presiden Joko Widodo mengurangi jadwal lawatannya ke negeri Paman Sam, kemudian presiden bergegas
menuju Suku Anak dalam di Provinsi Jambi. Selain presiden, para pembantu
presiden pun juga sibuk, (seingat saya) setelah semakin merebaknya bencana
kabut asap yang berlarut – larut tersebut, pak menteri Luhut Panjaitan kemudian
menggelar rapat terbatas (ratas) dengan ibu menteri Siti Nurbaya serta mengundang
para gubernur dari provinsi yang daerahnya menjadi lokasi kebakaran, seperti
gubernur Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Barat. Rapat terbatas tersebut digelar untuk membahas mengenai kabut
asap yang tengah melanda negeri, mengenai penyebab, upaya – upaya yang telah
ditempuh untuk memadamkan api, penindakan hingga sanksi bagi para pemegang izin
konsesi, baik itu sanksi teguran, denda, sampai pencabutan izin konsesi bagi
perusahaan yang terbukti unit management nya melakukan pembakaran lahan untuk
proses land clearing.
Selama
ini expose yang mencuat ke permukaan, publikasi yang beredar tersebut menunjukkan
kehebohan – kehebohan dikalangan bawah atau dibagian hilir saja. Yang
diekspose, dikritisi, dihujat, dan dituntut untuk dijatuhi hukuman adalah para
pelaku pembakaran, yang notabene selalu rakyat kecil, mungkin apa yang telah
dilakukan tak semua motifasinya karena untuk urusan besar (bisnis). Yang
terpenting adalah para pembakar lahan hutan tersebut telah tertangkap tangan
sedang melakukan tindakan pembakaran, dan itu melanggar hukum. Tetapi mereka
yang mendalangi, yang memerintah, yang memprofokatori, yang menjadi baking, dan
yang menjadi pengawas tersebut seolah tak pernah tersentuh oleh media apapun,
tak pernah terkuak dan terekspose baik itu oleh media maupun hukum. (kan jancuk
sekali ya ;p)
Logikanya,
masalah yang timbul di bagian hilir mengenai pembakaran hutan dan lahan untuk
tujuan besar (bisnis) tak akan terjadi apabila tak ada yang menginisiasi. Siapa
yang menginisiasi?? Mungkin, para pelaku dibagian hulu. Siapa itu?? Sudah
barang tentu misalnya para investor, pengusaha, pemilik saham atau siapa saja
yang berkepentingan (tak menutup kemungkinan dari instansi pemerintah sendiri).
Kenapa bisa terjadi?? Mungkin, karena mereka juga didukung, didukung oleh
kebijakan, kebijakan yang dibuat untuk main serong, kebijakan yang lebih
condong kepada kepentingan sepihak, yang menguntungkan individu – individu
tertentu dan mengesampingkan keseimbangan lingkungan dan bukan kebijakan yang
cenderung kerakyatan, untuk tujuan khalayak umum dan ramah lingkungan. Sepengetahuan
saya, yang jelas ini akan saling berkaitan erat dengan para pelaku pengambil
kebijakan, baik itu kementerian yang menaungi sektor tersebut, gubernur, dan
bupati sebagai raja – raja daerah.
Membakar
lahan hutan baik itu bukan gambut maupun gambut memang merupakan cara termudah
dan murah sebagai tahap awal untuk mengolah dan menggarap lahan menjadi lahan
yang dianggap akan lebih produktif dan dapat lebih cepat menghasilkan dari segi
financial, dari pada lahan tersebut dibiarkan masih berhutan, atau status nya
berhutan namun kondisi dilapangan telah menjadi semak belukar alang – alang.
Tak peduli lahan hutan tersebut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan
kehidupan atau tidak. Dalam tradisi lokaal masyarakat Suku Dayak, tradisi
membakar lahan hutan untuk keperluan perladangan berpindah telah dilakukan
sejak berpuluh puluh atau mungkin malah beratus – ratus tahun yang lalu. Dan
masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Tetapi tak elok apabila hal tersebut
yang telah dilakukan secara turun – temurun lalu kemudian, serta merta dikambing hitamkan sebagai akibat ulah
mereka. Mereka membakar hanya seluas yang nanti mampu digarapnya, dan itu rutin
dikerjakan setiap tahun, hal ini menjadi tak wajar ketika kegiatan membakar
lahan hutan yang telah dilakukan setiap tahun dan telah bertahun – tahun, kemudian
menjadi berdampak sebegitu hebat di tahun ini, tahun 2015.
Pada
umumnya kebakaran hebat yang terjadi dinegeri ini selalu terjadi diareal lahan
gambut. Kenapa kebakaran yang terjadi dilahan gambut dapat mengakibatkan
kebakaran hebat?? apakah apabila terjadi kebakaran di lahan selain gambut
misalnya di hutan tropis tidak akan menyebabkan kebakaran yang hebat?? mungkin
pertanyaan – pertanyaan ini akan muncul dibenak masyarakat umum. Perlu kita
ketahui bahwa gambut itu seperti sekam padi, seperti tumpukan jerami, atau
tumpukan serbuk gergaji. Apabila tumpukan – tumpukan sekam, jerami, dan serbuk
gergaji tersebut terbakar atau sengaja dibakar, maka api akan menjalar tak
hanya dari permukaan yang terbakar saja, tetapi api juga dapat menjalar dari
berbagai arah, dari permukaan dan dari kedalaman yang tidak dapat diprediksi.
Hebatnya lagi lahan gambut yang berada di negeri ini memiliki kedalaman yang
bervariasi, mulai dari yang hanya kedalaman 1 meter hingga puluhan meter,
dengan luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20,6 juta hektar atau sekitar
10,8% dari luas daratan Indonesia. Bisa dibayangkan apabila yang terbakar
berada pada kedalaman yang sampai puluhan meter tersebut. Harus dengan metode
dan teknologi apa untuk memadamkannya. Wallahu
‘Alam.
Kebijakan
pemerintah melalui peraturan dan undang – undang yang tidak sepihak serta
penegakan hukum secara konsisten yang dapat menekan laju kebakaran hutan setiap
tahun. Sedangkan pada hutan tropis juga bukan tidak mungkin terjadi kebakaran
hebat sebagaimana yang terjadi di lahan gambut, namun kecil kemungkinan. Karena
pada hutan tropis memiliki kelembapan tinggi, pada saat musim kemarau pun juga
masih relatif cukup tinggi, sehingga kebakaran hebat, kecil kemungkinan terjadi
di hutan tropis. Pada umumnya kebakaran yang terjadi dihutan tropis yang
diakibatkan oleh perladangan berpindah itu diawali oleh pembukaan lahan,
penghabisan vegetasi, kemudian dibiarkan kering lalu dibakar. Kenapa tidak
merambat ke lahan hutan lainnya?? karena api tak akan merambat pada areal yang
masih lembab.
Berbagai
opini – opini yang berkembang di masyarakat luas seringkali muncul pertanyaan –
pertanyaan yang menohok dan membabi buta. Menikam dari sudut – sudut yang sulit
diprediksi. Kenapa pada lahan gambut tersebut dibakar dan terbakar?? Tidak
mungkin membakar tanpa ada tujuan, dan salah satu tujuan yang umum dan mudah
dipahami adalah jelas untuk land clearing. Kenapa lahan tersebut di land
clearing kan?? Tentu pada lahan tersebut akan dialih fungsikan sebagai lahan dengan
tujuan sebagai peruntukan lain. Peruntukan lain seperti apa?? Kalau tidak untuk
jenis usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) ya perkebunan, tentunya sawit akan
mendominasi juga. Lho bukannya dilahan gambut tidak boleh serampangan dan
sembarangan dalam melakukan pengelolaannya apalagi mengalihfungsikan lahan yang
digunakan sebagai peruntukan lain, harus ada control, kajian akademis sebagai
bahan pertimbangan, dan harus dikelola dengan prinsip kehati – hatian tinggi.
Kalau untuk kepentingan bisnis, pendapatan daerah, pendapatan individu serta
golongan, kajian – kajian tersebut menjadi sedikit atau bahkan tidak penting
lagi, control yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait pengawasan terkesan
hanya menjadi pekerjaan formalitas saja dan sekedar hanya untuk mendapatkan
Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) ke perusahaan – perusahaan yang telah
terlanjur mendapatkan izin konsesi di lahan gambut. Sudah jelas dong arahnya
kemana??, kalau ada SPPD berarti ada uang saku perjalanan dinas, belum lagi kalau
sudah sampai di perusahaan, masih mendapatkan uang saku tambahan dari belas
kasihan perusahaan J. Lalu kenapa lebih tertarik ke lahan gambut
apalagi lahan gambutnya masih berhutan?? Bukannya di negeri ini juga sudah
terlanjur luas lahan – lahan yang terbengkalai, lahan yang tidak berhutan dan
tidak produktif, lahan yang statusnya oleh Negara diketahui berhutan namun di
lapangan hanya ditumbuhi semak belukar. Lalu kenapa tidak dilahan yang tidak
efektif tersebut saja??huufttt. begini, vegetasi di lahan gambut merupakan
jenis vegetasi yang unik, vegetasi yang memiliki tingkat biodiversitas cukup
tinggi, dan jenis vegetasi yang tumbuh dilahan rawa gambut adalah jenis – jenis
yang memiliki keistimewaan. Keistimewaan yang dimiliki oleh jenis vegetasi rawa
gambut tersebut adalah kayu yang tumbuh merupakan jenis kayu yang masuk dalam kategori
kelompok kayu indah, kayu ini memiliki nilai ekonomi tinggi, kalau diperjualbelikan
harganya membumbung, salah satu contoh adalah kayu Ramin (Gymnosphyros spp). Lho sekarang apa hubungannya dengan para
pemegang izin konsesi HTI atau perkebunan?? Bagi para pengusaha yang telah
mendapatkan izin konsesi untuk tujuan HTI atau perkebunan pada lahan gambut, apabila
telah mendapatkan izin konsesi pada lahan tersebut yang masih dalam kondisi
utuh vegetasinya (berhutan) maka pemilik konsesi tersebut akan mendapatkan
income cuma – cuma, dalam hal ini income yang dihasilkan adalah dari penebangan
kayu – kayu tersebut sebagai akibat land clearing. Sudah tentu hasil dari
penjualan atau pemanfaatan kayu – kayu tersebut tidak hanya menguntungkan para
pengusaha saja tetapi juga akan mensejahterakan para penguasa atau raja – raja
kecil daerah. Setelah dilakukan penebangan sebagai bagian dari proses land
clearing, proses selanjutnya yaitu pembakaran. Karena proses land clearing yang
dilakukan secara mekanis akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional. Jadi
pengusaha mana yang mau rugi?? yang hanya mau mendapatkan keuntungan minimum??
Tak ada. Salah satu jalan keluar yang dianggap paling murah dan mudah untuk
proses land clearing tentu saja dengan cara membakarnya. Cukup mendelegasikan
pada beberapa orang untuk melakukan aktifitas illegal tersebut, maka dengan
mudah dan murah lahan siap untuk dilakukan dengan peruntukan lain dengan dampak
kabut asap seperti yang terjadi sekarang ini.
Agif Sasmito
Borneo, 18 September 2015 14.46
Borneo, 18 September 2015 14.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar