Jumat, 01 Januari 2016

GAMBUT Penyebab Bencana, ASAP Perlu Dikelola

Indonesia terlihat pucat, Pulau Kalimantan dan Sumatra serasa temaram, redup, dan ringkih akibat udara dengan kandungan Karbon (CO) yang berlebihan. Kandungan gas Oksigen (O­2­­) seperti terhimpit tak mendapat ruang. Ternyata lebatnya hutan yang masih tersisa di kedua pulau besar ini tak mampu berbuat banyak untuk menetralkan kadar Karbon yang berlebihan, akibat dari ribuan hektar lahan gambut yang sedang membara. Hanya ribuan hektar, tak lebih !!.

Akhir – akhir ini hutan hujan tropis Kalimantan tempat saya bekerja sedang mengalami perubahan cuaca yang begitu drastis. Udara segar yang biasa terhirup setiap pagi sudah kurang lebih sebulan ini tak dapat dirasa sesegar seperti pagi – pagi sebelumnya. Suara – suara satwa liar yang sering terdengar sahut - sahutan seperti Owa Kalimantan (Hylobates spp) tak terdengar lagi di pagi maupun sore hari.

Saban hari disesaki oleh pekatnya kabut asap yang menyelimuti rimba. Matahari pun tak tampak secerah biasanya, bahkan dengan mudah mata telanjang ini dapat menatapnya langsung. Sinar yang biasanya menyilaukan, tak lagi dapat menyilaukan mata. Matahari hanya terlihat bulat orange dan samar, yang tersingkap oleh pekatnya kabut asap.

Indonesia terlihat pucat, Pulau Kalimantan dan Sumatra serasa temaram, redup, dan ringkih akibat udara dengan kandungan Karbon (CO) yang berlebihan. Kandungan gas Oksigen (O­2­­) seperti terhimpit tak mendapat ruang. Ternyata lebatnya hutan yang masih tersisa di kedua pulau besar ini tak mampu berbuat banyak untuk menetralkan kadar Karbon yang berlebihan, akibat dari ribuan hektar lahan gambut yang sedang membara. Hanya ribuan hektar, tak lebih !!.

Hampir semua rekan kerja mengeluhkan terhadap kondisi sekarang ini, entah keluhan tersebut ditujukan pada siapa, atau hanya sekedar menggerutu pada keadaan. Beberapa ada yang membandingkan dengan kebakaran hebat yang terjadi tahun 1999 atau sekitar 16 tahun silam, bahwa kabut kabut asap akibat kebakaran lahan gambut yang terjadi sekarang ini lebih parah dari tahun tersebut.

Sudah hampir kurang lebih sebulan ini media di televisi antusias menyiarkan bencana kebakaran hutan dan lahan. Bencana karena ulah. Media menyiarkan suasana diberbagai kota besar, kabupaten, dan di lokasi kebakaran di kedua pulau ini. Berbagai Headline news dari stasiun televise menyiarkan pula usaha pemadaman yang telah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak, oleh masyarakat, dan lembaga – lembaga swadaya masyarakat serta para relawan. Terliput ada yang berjibaku dengan usaha – usaha pemadaman, mulai dari yang menggunakan berbagai alat canggih milik pemadam kebakaran dan badan penanggulangan bencana sampai menggunakan alat paling sederhana sekalipun seperti gepyok dari kumpulan dahan ranting pohon yang diikat. Ada yang berbondong – bondong membagikan masker, membuka posko kesehatan dan pengobatan, ada masyarakat yang mengeluh dengan berbagai curhatannya, ada balita dan lansia yang meninggal akibat ISPA, sampai primata terbesar seprti Orang Utan (Pongo pygmaeus) sekalipun juga ada yang mengidapnya, ada juga yang hanya sibuk mengucapkan keprihatinan yang dialami oleh masyarakat terdampak, hingga kejadian karena saking prihatinnya para politisi yang bercokol di kursi empuk DPR terliput sedang menggunakan masker diruang sidang yang sejuk dengan sepoi – sepoi AC nya, kan konyol!! seperti badut di hiburan pasar malam, penuh kepura – puraan dan sangat menghibur. J

Tak kalah hebohnya dari media televisi, media sosial pun juga menggeliat bak cacing kepanasan diatas aspal jalanan disiang bolong. Media sosial seperti facebook, twetter heboh dengan berbagai opini – opini, sindiran, kecaman, serta meme – meme kreatif. Pada akun twetter tersebar hastag (#) #terimakasihIndonesia. Hastag ini tersebar luas di media sosial twetter sebagai bentuk protes dari waga Negara Malaysia dan Singapura akibat ikut merasakan dampak kabut asap yang terjadi di negeri ini. Hastag tersebut melayangkan opini – opini dalam berbagai bentuk, baik kritikan, hujatan, kekecewaan, sindiran, saling tuding dan menyalahkan pihak Negara Indonesia. Tak mau kalah begitu saja dengan kehebohan tersebut, karena merasa dipecundangi Negara tetangga, warga Negara Indonesia pun juga melayangkan kicauan balasan dengan hastag #samasamaMalaysia. Dan memang dasarnya warga Indonesia, rasa persatuan dan kesatuannya begitu tinggi, maka ketika terjadi suatu hal yang menyangkut nama baik kesatuan Nusantara maka serta merta nasionalisme muncul dengan gegap gempita, serempak, dengan penuh semangat dan dengan daya juang militan. Hastag ini merupakan balasan untuk hastag yang dilayangkan pihak Negara tetangga yang terdampak asap.

Ditingkat elit negeri pun juga tak mau ketinggalan dengan keriuhan yang ditimbulkan oleh kabut asap. Pada tahun ini kabut asap bak sebuah oase di tengah padang gurun, akan menjadi pusat perhatian dan tujuan utama bagi para pemegang kepentingan dan yang berkepentingan. Yang paling mencuri perhatian public adalah turun kelapangannya pimpinan tertinggi negeri ini, Presiden sampai memantau langsung kondisi dilapangan, di Palangkaraya dan Riau. Hingga puncaknya adalah Presiden Joko Widodo mengurangi jadwal lawatannya ke negeri Paman Sam, kemudian presiden bergegas menuju Suku Anak dalam di Provinsi Jambi. Selain presiden, para pembantu presiden pun juga sibuk, (seingat saya) setelah semakin merebaknya bencana kabut asap yang berlarut – larut tersebut, pak menteri Luhut Panjaitan kemudian menggelar rapat terbatas (ratas) dengan ibu menteri Siti Nurbaya serta mengundang para gubernur dari provinsi yang daerahnya menjadi lokasi kebakaran, seperti gubernur Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Rapat terbatas tersebut digelar untuk membahas mengenai kabut asap yang tengah melanda negeri, mengenai penyebab, upaya – upaya yang telah ditempuh untuk memadamkan api, penindakan hingga sanksi bagi para pemegang izin konsesi, baik itu sanksi teguran, denda, sampai pencabutan izin konsesi bagi perusahaan yang terbukti unit management nya melakukan pembakaran lahan untuk proses land clearing.

Selama ini expose yang mencuat ke permukaan, publikasi yang beredar tersebut menunjukkan kehebohan – kehebohan dikalangan bawah atau dibagian hilir saja. Yang diekspose, dikritisi, dihujat, dan dituntut untuk dijatuhi hukuman adalah para pelaku pembakaran, yang notabene selalu rakyat kecil, mungkin apa yang telah dilakukan tak semua motifasinya karena untuk urusan besar (bisnis). Yang terpenting adalah para pembakar lahan hutan tersebut telah tertangkap tangan sedang melakukan tindakan pembakaran, dan itu melanggar hukum. Tetapi mereka yang mendalangi, yang memerintah, yang memprofokatori, yang menjadi baking, dan yang menjadi pengawas tersebut seolah tak pernah tersentuh oleh media apapun, tak pernah terkuak dan terekspose baik itu oleh media maupun hukum. (kan jancuk sekali ya ;p)

Logikanya, masalah yang timbul di bagian hilir mengenai pembakaran hutan dan lahan untuk tujuan besar (bisnis) tak akan terjadi apabila tak ada yang menginisiasi. Siapa yang menginisiasi?? Mungkin, para pelaku dibagian hulu. Siapa itu?? Sudah barang tentu misalnya para investor, pengusaha, pemilik saham atau siapa saja yang berkepentingan (tak menutup kemungkinan dari instansi pemerintah sendiri). Kenapa bisa terjadi?? Mungkin, karena mereka juga didukung, didukung oleh kebijakan, kebijakan yang dibuat untuk main serong, kebijakan yang lebih condong kepada kepentingan sepihak, yang menguntungkan individu – individu tertentu dan mengesampingkan keseimbangan lingkungan dan bukan kebijakan yang cenderung kerakyatan, untuk tujuan khalayak umum dan ramah lingkungan. Sepengetahuan saya, yang jelas ini akan saling berkaitan erat dengan para pelaku pengambil kebijakan, baik itu kementerian yang menaungi sektor tersebut, gubernur, dan bupati sebagai raja – raja daerah.

Membakar lahan hutan baik itu bukan gambut maupun gambut memang merupakan cara termudah dan murah sebagai tahap awal untuk mengolah dan menggarap lahan menjadi lahan yang dianggap akan lebih produktif dan dapat lebih cepat menghasilkan dari segi financial, dari pada lahan tersebut dibiarkan masih berhutan, atau status nya berhutan namun kondisi dilapangan telah menjadi semak belukar alang – alang. Tak peduli lahan hutan tersebut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan kehidupan atau tidak. Dalam tradisi lokaal masyarakat Suku Dayak, tradisi membakar lahan hutan untuk keperluan perladangan berpindah telah dilakukan sejak berpuluh puluh atau mungkin malah beratus – ratus tahun yang lalu. Dan masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Tetapi tak elok apabila hal tersebut yang telah dilakukan secara turun – temurun lalu kemudian, serta merta dikambing hitamkan sebagai akibat ulah mereka. Mereka membakar hanya seluas yang nanti mampu digarapnya, dan itu rutin dikerjakan setiap tahun, hal ini menjadi tak wajar ketika kegiatan membakar lahan hutan yang telah dilakukan setiap tahun dan telah bertahun – tahun, kemudian menjadi berdampak sebegitu hebat di tahun ini, tahun 2015.

Pada umumnya kebakaran hebat yang terjadi dinegeri ini selalu terjadi diareal lahan gambut. Kenapa kebakaran yang terjadi dilahan gambut dapat mengakibatkan kebakaran hebat?? apakah apabila terjadi kebakaran di lahan selain gambut misalnya di hutan tropis tidak akan menyebabkan kebakaran yang hebat?? mungkin pertanyaan – pertanyaan ini akan muncul dibenak masyarakat umum. Perlu kita ketahui bahwa gambut itu seperti sekam padi, seperti tumpukan jerami, atau tumpukan serbuk gergaji. Apabila tumpukan – tumpukan sekam, jerami, dan serbuk gergaji tersebut terbakar atau sengaja dibakar, maka api akan menjalar tak hanya dari permukaan yang terbakar saja, tetapi api juga dapat menjalar dari berbagai arah, dari permukaan dan dari kedalaman yang tidak dapat diprediksi. Hebatnya lagi lahan gambut yang berada di negeri ini memiliki kedalaman yang bervariasi, mulai dari yang hanya kedalaman 1 meter hingga puluhan meter, dengan luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Bisa dibayangkan apabila yang terbakar berada pada kedalaman yang sampai puluhan meter tersebut. Harus dengan metode dan teknologi apa untuk memadamkannya. Wallahu ‘Alam.

Kebijakan pemerintah melalui peraturan dan undang – undang yang tidak sepihak serta penegakan hukum secara konsisten yang dapat menekan laju kebakaran hutan setiap tahun. Sedangkan pada hutan tropis juga bukan tidak mungkin terjadi kebakaran hebat sebagaimana yang terjadi di lahan gambut, namun kecil kemungkinan. Karena pada hutan tropis memiliki kelembapan tinggi, pada saat musim kemarau pun juga masih relatif cukup tinggi, sehingga kebakaran hebat, kecil kemungkinan terjadi di hutan tropis. Pada umumnya kebakaran yang terjadi dihutan tropis yang diakibatkan oleh perladangan berpindah itu diawali oleh pembukaan lahan, penghabisan vegetasi, kemudian dibiarkan kering lalu dibakar. Kenapa tidak merambat ke lahan hutan lainnya?? karena api tak akan merambat pada areal yang masih lembab.


Berbagai opini – opini yang berkembang di masyarakat luas seringkali muncul pertanyaan – pertanyaan yang menohok dan membabi buta. Menikam dari sudut – sudut yang sulit diprediksi. Kenapa pada lahan gambut tersebut dibakar dan terbakar?? Tidak mungkin membakar tanpa ada tujuan, dan salah satu tujuan yang umum dan mudah dipahami adalah jelas untuk land clearing. Kenapa lahan tersebut di land clearing kan?? Tentu pada lahan tersebut akan dialih fungsikan sebagai lahan dengan tujuan sebagai peruntukan lain. Peruntukan lain seperti apa?? Kalau tidak untuk jenis usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) ya perkebunan, tentunya sawit akan mendominasi juga. Lho bukannya dilahan gambut tidak boleh serampangan dan sembarangan dalam melakukan pengelolaannya apalagi mengalihfungsikan lahan yang digunakan sebagai peruntukan lain, harus ada control, kajian akademis sebagai bahan pertimbangan, dan harus dikelola dengan prinsip kehati – hatian tinggi. Kalau untuk kepentingan bisnis, pendapatan daerah, pendapatan individu serta golongan, kajian – kajian tersebut menjadi sedikit atau bahkan tidak penting lagi, control yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait pengawasan terkesan hanya menjadi pekerjaan formalitas saja dan sekedar hanya untuk mendapatkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) ke perusahaan – perusahaan yang telah terlanjur mendapatkan izin konsesi di lahan gambut. Sudah jelas dong arahnya kemana??, kalau ada SPPD berarti ada uang saku perjalanan dinas, belum lagi kalau sudah sampai di perusahaan, masih mendapatkan uang saku tambahan dari belas kasihan perusahaan J.  Lalu kenapa lebih tertarik ke lahan gambut apalagi lahan gambutnya masih berhutan?? Bukannya di negeri ini juga sudah terlanjur luas lahan – lahan yang terbengkalai, lahan yang tidak berhutan dan tidak produktif, lahan yang statusnya oleh Negara diketahui berhutan namun di lapangan hanya ditumbuhi semak belukar. Lalu kenapa tidak dilahan yang tidak efektif tersebut saja??huufttt. begini, vegetasi di lahan gambut merupakan jenis vegetasi yang unik, vegetasi yang memiliki tingkat biodiversitas cukup tinggi, dan jenis vegetasi yang tumbuh dilahan rawa gambut adalah jenis – jenis yang memiliki keistimewaan. Keistimewaan yang dimiliki oleh jenis vegetasi rawa gambut tersebut adalah kayu yang tumbuh merupakan jenis kayu yang masuk dalam kategori kelompok kayu indah, kayu ini memiliki nilai ekonomi tinggi, kalau diperjualbelikan harganya membumbung, salah satu contoh adalah kayu Ramin (Gymnosphyros spp). Lho sekarang apa hubungannya dengan para pemegang izin konsesi HTI atau perkebunan?? Bagi para pengusaha yang telah mendapatkan izin konsesi untuk tujuan HTI atau perkebunan pada lahan gambut, apabila telah mendapatkan izin konsesi pada lahan tersebut yang masih dalam kondisi utuh vegetasinya (berhutan) maka pemilik konsesi tersebut akan mendapatkan income cuma – cuma, dalam hal ini income yang dihasilkan adalah dari penebangan kayu – kayu tersebut sebagai akibat land clearing. Sudah tentu hasil dari penjualan atau pemanfaatan kayu – kayu tersebut tidak hanya menguntungkan para pengusaha saja tetapi juga akan mensejahterakan para penguasa atau raja – raja kecil daerah. Setelah dilakukan penebangan sebagai bagian dari proses land clearing, proses selanjutnya yaitu pembakaran. Karena proses land clearing yang dilakukan secara mekanis akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional. Jadi pengusaha mana yang mau rugi?? yang hanya mau mendapatkan keuntungan minimum?? Tak ada. Salah satu jalan keluar yang dianggap paling murah dan mudah untuk proses land clearing tentu saja dengan cara membakarnya. Cukup mendelegasikan pada beberapa orang untuk melakukan aktifitas illegal tersebut, maka dengan mudah dan murah lahan siap untuk dilakukan dengan peruntukan lain dengan dampak kabut asap seperti yang terjadi sekarang ini. 

Agif Sasmito
Borneo, 18 September 2015 14.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar